Orang – orang tua dahulu melalui dongengan mengajarkan akan adanya dewa perkasa bernama Kala – Batara Kala. Katanya dialah yang mendorong semua saja bergerak semakin lama semakin jauh dari titiktolak, tak terlawankan, ke arah yang semua saja tidak bakal tahu. Juga aku, manusia yang buta terhadap hari depan, hanya dapat berharap tahu. Uh, sedang yang sudah dilewati tak semua dapat diketahui.
Orang bilang apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh, sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga – abadi. Di depan sana ufuk itu juga – abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dalam tangan – jarak dan ufuk abadi itu.
Batara Kala telah menyorong Annelies melalui jarak-jarak, aku sendiri disorongnya melalui jarak-jarak yang lain, makin berjauhan, makin pada tak tahu apa bakal jadinya. Jarak yang semakin luas membentang membikin aku jadi mengerti: dia bukan sekedar boneka rapuh. Barang siapa dapat mencintai begitu mendalam, dia bukan boneka. Mungkin juga dialah satu-satunya wanita yang mencintai aku dengan tulus. Dan makin jauh juga Batara Kala menyorong kami berpisah, makin terasa olehku: sesungguhnya memang aku mencintainya.
Juga cinta, sebagaimana halnya dengan setiap benda dan hal, mempunyai bayang-bayang. Dan bayang-bayang cinta itu bernama derita. Tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali terang itu sendiri….
Baik terang maupun bayang-bayang tak urung semua disorong terus oleh Batara Kala. Tak ada yang bisa balik pada titiktolak. Boleh jadi dewa perkasa ini yang oleh orang Belanda dinamai gigi sang waktu (de tand des tijds). Olehnya yang tajam ditumpulkan, yang tumpul ditajamkan, yang kecil dibesarkan, yang besar dikecilkan. Dan semua disorong ke ufuk yang terus juga bergerak tak tergenggam tangan. Disorong terus menuju kemusnahan. Dan kemusnahan yang menyebabkan kelahiran kembali.
(dikutip dari: Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer, terbitan 1980)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar